16.12.09

Nobel Ibu Lin dan Sesat Pikir Kebijakan Publik

Oleh Sonny

PENGANTAR: Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 2009 dianugerahkan antara lain kepada Elinor Ostrom. Secara perspektif dan metodologi, Ostrom berangkat dari anggapan bahwa preferensi manusia adalah beragam dan tergantung konteks interaksi sosial. Hal-hal mana berbeda dengan anggapan teori ilmu ekonomi tradisional (neoklasik) yang, andaikata diterjemahkan sebagai kebijakan publik, dapat menyesatkan.

Lebih baik mana, nasionalisasi atau privatisasi? Nobel Ekonomi 2009 diberikan pada ilmuwan sosial yang menunjukkan bahwa pertanyaan semacam ini dapat menyesatkan. Atas sumbangsihnya dalam memahami seluk-beluk kelembagaan ekonomi, Elinor Ostrom - bersama Oliver Williamson - mendapat penghargaan tertinggi dalam ilmu ekonomi tersebut.

Sekian lama mahasiswa fakultas ekonomi diajarkan dua anggapan yang lumayan keliru Pertama, manusia selalu merujuk dirinya sendiri ketika mengambil keputusan, dan oleh karena itu dorongan perilaku manusia adalah tunggal: hanya self-interest. Bertindak di luar itu, manusia dianggap tak rasional. Perilaku tersebut juga dianggap stabil alias tidak berubah-ubah. Entah di lantai Bursa Efek Jakarta atau di hamparan kota Padang yang luluh lantak dihajar gempa, orang senantiasa hanya berpikir, apa untung bagi dirinya sendiri tatkala memilih dan mengambil keputusan.

Anggapan kedua adalah mekanisme pasar selalu efisien. Dan kalaupun ia tak efisien, upaya apapun yang diambil mestilah mengarah pada pencapaian efisiensi pasar. Pencabutan subsidi BBM beberapa waktu berselang atau pemberian BLT secara terbatas – tapi tidak untuk subsidi bagi penyebab lumpur Lapindo atau subsidi bagi pemilik Bank Century – berangkat dari anggapan seperti ini.

Ostrom, perempuan pertama dalam sejarah penerima Nobel Ekonomi itu, menengarai bahwa anggapan serupa itu tidak mewakili gambaran manusia dan tidak mencerminkan perekonomian dengan akurat. Sebagian besar kajiannya menyorot persoalan lingkungan – di mana kegagalan pasar tampak lebih nyata. Argumentasi Lin, begitu perempuan ramah ini akrab dipanggil kolega dan mahasiswa, bersandar pada riset dan eksperimen lapangan. Analisa kelembagaan yang ia bangun lekat dengan pendekatan behavioral economics dan experimental economics.

Awalnya ia amati petani di Nepal dan Swiss, atau nelayan di Turki dan Filipina, kemudian ribuan kasus di seluruh dunia. Tak seperti taksiran ekonom neoklasik, nelayan dan petani rupanya tidak senantiasa berhitung untung-rugi yang lazim dilakukan manusia “rasional”. Di sana, mereka juga bertukarpendapat dan bekerjasama demi kemaslahatan bersama. Mereka saling menjunjung norma yang disepakati bersama. Orang tidak selamanya bersaing, lalu mengeruk sumberdaya air, tanah, hutan atau laut sampai ludes.

Mengapa demikian? Temuan-temuan menarik ini membawa kita pada hal provokatif yang lain. Pada sebuah mekanisme yang kerapkali disebut penadbiran mandiri atau self-governing. Dengan caranya sendiri, interaksi sosial memungkinkan warga mengatasi problematika masyarakat dalam pembagian sumberdaya. Komunitas menyeruak menjadi aktor lain yang cukup penting. Selama ini, kebijakan-kebijakan publik dibangun di atas poros dua aktor: negara dan pasar. Padahal tidak jarang kedua aktor ini adalah bagian dari persoalan, bukan jalan keluar. Pertanyaan privatisasi atau nasionalisasi di atas adalah ikutan tak terhindar dari bangun-pikir demikian.

Andaikan dua skenario berikut. Komunitas nelayan Lamalera di pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, telah berburu ikan paus berabad lamanya. Tradisi ini dibangun di atas mekanisme kerjasama dan kelola mandiri. Untuk kebutuhan sehari-hari (subsisten) dan bukan mengeruk untung, tingkat tangkapan nelayan secara umum tidak melampaui kapasitas berkelanjutan dari pasokan ikan paus. Negara, yang disokong LSM lingkungan, kemudian campur tangan dengan misalnya mengenakan kuota tangkapan. Dinamika baru yang muncul di komunitas tersebut mungkin malah memicu setiap nelayan menangkap melebihi pasokan.

Skenario lain barangkali komunitas suku anak dalam di relung hutan Borneo. Kendatipun mereka miskin, hutan adalah hidup sekaligus kehidupan bagi mereka. Secara sukarela komunitas ini melakukan konservasi hutan. Lantas datang ekonom kacamata kuda, memberi petunjuk betapa pentingnya privatisasi konservasi hutan demi paru-paru dunia dan perubahan iklim global. Supaya tidak menebang pohon atau merusak hutan, komunitas tetangga dikasih uang. Tanah mereka disertifikasi, agar serapan CO2 mudah ditakar untuk kompensasi uang. Melihat tetangganya itu, komunitas suku anak dalam yang sejauh ini bekerjasama dengan sukarela menjaga hutan, pelan-pelan mulai berpikir “rasional”, laiknya seorang saudagar. Konservasi sukarela mereka tinggalkan. Kerjasama sosial runtuh.

Contoh lebih nyata mungkin adalah pengelolaan PDAM. Wacana yang berkembang luas, privatisasi perusahaan daerah oleh swasta mutlak gara-gara ketidakbecusan negara mengurus penyediaan air minum dan air bersih. Di antara jepitan privatisasi versus nasionalisasi ini, jarang kita dengar gagasan sosial baru yang inovatif, bahwa komunitas konsumen, komunitas penyelia air, atau serikat pekerja PDAM, punya potensi sebagai alternatif. Potensi sebagai aktor ketiga yang mampu mengelola pengadaan air secara demokratis, partisipatoris, dan efisien.

Apabila benar, Hadiah Nobel kali ini telah dianugerahkan pada sosok yang berusaha menjawab satu dari sekian soal paling penting tentang kebijakan publik. Soal yang tanpa disadari selama ini kadung didekati secara ideologis. Bukan dengan kebijaksanaan ilmu pengetahuan.***

Tulisan ini dapat juga dibaca di Jakartabeat.net

16.10.09

Teori Individu Sosial (1): Pengantar & Mekanisme Sebagai Penjelasan

Oleh Roby

Pengantar

Blog bersama ini bernama Individu Sosial yang berarti bahwa blog ini adalah usaha untuk menelusuri dan menguak hubungan antar individu yang membentuk dunia sosial yang kita semua hidup di dalamnya. Dalam serangkaian artikel yang akan saya tulis, saya mencoba membuat paparan sistematis dan menunjukkan bahwa terdapat sebuah doktrin metodologi yang memperlakukan individu dan struktur sosial dengan serius dan secara bersamaan. Doktrin ini BUKAN merupakan doktrin politik seperti individualisme atau sosialisme, tapi berupa doktrin metodologi yang merupakan pisau analitik atau strategi untuk mengerti dunia sosial. Meskipun menarik untuk berspekulasi mengenai doktrin politik yang berhubungan dengan metodologi yang akan saya jelaskan, fokus tulisan-tulisan ini ada pada sisi metodologinya. Untuk itu, kita sebut saja doktrin ini sebagaimana ia sering disebut yaitu ilmu sosial analitik, atau singkatnya strategi analitik.

Tulisan ini tidak akan ada jika demokrasi tidak ada di Indonesia. Ini karena saya menulis terpicu oleh debat publik yang marak di Indonesia (terutama di Internet). Debat-debat ini banyaknya terjadi di tataran politik dan ideologi, tapi tidak jarang bersentuhan dengan epistemi pengetahuan yang menjadi dasar politik/ideologi yang diperdebatkan. Ini adalah usaha saya untuk berkontribusi dalam debat publik tersebut khususnya yang menyangkut landasan keilmuan untuk berbagai isu ekonomi, politik, dan sosial yang sedang hangat dibicarakan.


Mekanisme sebagai penjelasan

Mengerti atau menjelaskan fakta sosial (misalnya kemiskinan, konflik, trend, norma yang berlaku, selera budaya) adalah tujuan umum ilmu sosial. Strategi analitik memiliki keunikan yaitu sebagai strategi yang befokus pada mekanisme yang menghasilkan fakta sosial yang ingin dijelaskan, dan mekanisme ini selalu merujuk pada aksi individual dan relasi yang menghubungkan satu individu dengan individu yang lain. Hal pertama yang harus kita pikirkan adalah apa yang dimaksud dengan mekanisme, dan bagaimana mekanisme sosial bekerja dan dapat menjelaskan fakta sosial.

Ada beberapa cara untuk menjelaskan sebuah fakta sosial. Cara pertama yaitu cara yang dulu dianggap sebagai satu-satunya cara ilmiah yaitu dengan menujukkan bahwa sesuatu terjadi karena sesuatu tersebut memang diharapkan terjadi menurut sebuah hukum kausal yang universal, baik secara deterministik ataupun probabilistik. Penjelasan menurut hukum universal ini lahir dari fisika klasik (hukum Newton yang berlaku universal), dan tidak pernah mendapat tempat yang serius di ilmu sosial kecuali ilmu ekonomi. Tetapi cara pandang ini sudah ditinggalkan baik di ilmu fisika sendiri dan ilmu alam lain seperti biologi; juga ilmu ekonomi sudah mulai meninggalkan doktrin hukum universal ini. Ilmu sosial dan ekonomi sudah mulai beralih pada penjelasan yang berlandaskan pada mekanisme dan asosiasi statistik dengan metode eksperimen maupun non-eksperimen.

Cara kedua adalah menjelaskan fakta sosial dengan fakta sosial lain atau dengan sebuah abstraksi sosial. Contohnya, kita ingin menjelaskan sebuah fakta sosial yaitu konflik; lalu kita katakan bahwa konflik disebabkan kesenjangan sosial. Ini adalah contoh menjelaskan satu fakta dengan fakta lain yang menurut saya tidak memberikan penjelasan yang memuaskan. Tidak memuaskan bukan karena perlu ada penjelasan kenapa kesenjangan sosial terjadi sehingga memperpanjang rantai hubungan sebab-akibat; tetapi perlu ada penjelasan secara detail tentang runtutan proses yang membuat kesenjangan sosial di satu ujung menghasilkan konflik di ujung lain. Singkatnya, tidak cukup kita mengatakan A menyebabkan B, tapi kita juga perlu menemukan mekanisme yang membuat A menyebabkan B.

Cara ketiga yang umum dipakai ilmuwan sosial adalah menjelaskan fakta sosial dengan sebuah konsep abstrak. Misalnya adalah konsep habitus yang sering saya jumpai dipakai oleh para intelektual di media massa. Mari kita lihat definisi habitus ini menurut pencetusnya; habitus adalah

...systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and reprensetations that can objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the oprerations necessary in order to attain them. Objectively ‘regulated’ and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor.
(Bourdie, The Logic of Practice, p53).

Tidak tahu dengan anda, tapi bagi saya jangankan menggunakan habitus untuk menjelaskan sesuatu, apa arti sebenarnya habitus saja saya sulit mengerti. Konsep yang terlalu abstrak sulit dipakai untuk membantu mengerti sebuah fenomena sosial, malah mungkin membuat fenomena yang ingin dijelaskan menjadi lebih misterius. Paling sedikit ada dua kebingungan yang dapat muncul dari sebuah konsep yang terlalu abstrak: (1) sulit memastikan arti pasti konsep tersebut, dan (2) sulit melihat bagaimana konsep tersebut bekerja sesuai dengan yang disebutkan.

Jika kita konstraskan penjelasan mekanisme pada cara penjelasan lain yang disebutkan di atas, maka penjelasan mekanisme bersandar pada dua pilar utama. Pertama, kita harus membuat pola keteraturan yang teramati menjadi dapat dimengerti (tidak terlalu bergantung pada konsep abstrak), dan kedua adalah menunjukkan secara detail proses terbentuknya keteraturan tersebut. Artinya, setiap penjelasan akan sebuah fakta sosial harus selalu mengacu pada hal yang kita percaya menghasilkan fakta sosial tersebut.

Implikasinya, jika kita percaya bahwa perubahan sosial terjadi akibat sifat dan tindakan individu beserta relasi antar individu, maka setiap penjelasan akan suatu fakta sosial harus selalu merujuk pada individu dan relasinya; bukan merujuk pada fakta sosial lain atau abstraksi sosial dan hubungannya satu sama lain.

Perlu dicatat bahwa penjelasan mekanisme ini tidak perlu dipertentangkan dengan pendekatan statistik atau eksperimen. Karena asosiasi statistik dan eksperimen dapat dipakai untuk memilah-milah mekanisme mana yang relevan, dan memutuskan mekanisme yang terjadi dari berbagai kandidat mekanisme. Perbedaannya adalah kita tidak berhenti pada hasil yang diperoleh dari analisis statistik, tetapi berusaha menjelaskan mekanisme yang menimbulkan hasil tersebut.

Selain itu, penjelasan berdasar mekanisme ini dapat dilihat berada di tengah-tengah antara penjelasan dengan menggunakan hukum universal di satu ekstrim, dan penjelasan lokal -- baik kuantitatif dengan asosiasi statistik atau atau kualitatif dengan studi lapangan bertahun-tahun untuk mencapai thick description -- di ekstrim lain. Singkatnya, penjelasan mekanisme memiliki tingkat spektisisme yang tinggi terhadap setiap klaim teori universal (misalnya teori kesetimbangan umum dalam ekonomi neo-klasik atau teori Marx soal konflik kelas), tetapi juga tidak menerima begitu saja asosiasi statistik yang belaku lokal sebagai penjelasan. Penjelasan mekanisme mengacu pada apa yang disebut oleh sosiolog Robert K. Merton (ayahnya pemenang nobel ekonomi Robert C. Merton) sebagai middle-range theory.

Setelah memberikan deskripsi mengenai mekanisme sebagai penjelasan, selanjutnya kita akan membahas beberapa contoh mekanisme sosial. (bersambung)

~~~~~

Bacaan lanjut mengenai mekanisme sosial:

Social Mechanisms: an analytical approach to social theory.
Buku ini adalah kumpulan tulisan-tulisan mengenai penjelasan mekanisme ditinjau dari berbagai disiplin ilmu sosial termasuk ekonomi (termasuk tulisan ekonom Thomas Schelling dan Tyler Cowen).

Dissecting the social: On the Principles of Anaytical Sociology
Memberikan argumen untuk strategi analitik dan bagaimana menggunakannya dalam teori sosiologi.

28.9.09

Keadilan dalam sebuah suling

Oleh Sonny

Ketiga anak ini ingin sekali memiliki suling. Sebut saja nama mereka masing-masing sebagai Yanti, Anto, dan Sinta. Yang jadi masalah, suling itu cuma satu buah. Lagipula hanya satu orang anak dari mereka bertiga yang berhak atas suling tersebut.

Yanti merasa dialah yang paling berhak atas alat tiup ini. Pasalnya, di antara mereka dialah satu-satunya yang mampu dan pintar memainkan suling. Anto dan Sinta tak bisa meniup suling.

Anto, yang paling miskin di antara ketiga anak itu, merasa dirinyalah yang paling pantas mendapatkan suling tersebut. Berbeda dengan dua anak yang lain, Anto sama sekali tak punya mainan lain miliknya sendiri. Dengan memiliki suling tersebut, ia jadi punya sesuatu yang bisa ia pakai bermain.

Sinta sendiri merasa ialah orang yang paling patut memiliki suling itu. Sinta sudah bekerja keras berbulan-bulan membuat suling itu. Baik Yanti dan Anto menyaksikan usaha dan kerja Sinta tersebut. Setelah suling itu selesai ia kerjakan, “mereka datang, mencoba merampas suling ini dariku,” ujar Sinta.

Contoh ini saya ambil dari buku The Idea of Justice, karya terbaru Amartya Sen. Tahun 1998, ia memperoleh Hadiah Nobel untuk Ekonomi. Amartya Sen adalah ekonom yang lumayan populer di Indonesia. Pemikiran dia kerap pula dikutip. Sayang, menurut hemat saya, keseluruhan pemikiran Sen seringkali disalahtafsir oleh sejumlah ekonom di tanah air.

Kembali ke tiga anak di atas. Apabila mendengar penuturan mereka secara terpisah, kita mungkin bakal lebih mudah memutuskan. Sekarang, setelah mendengar cerita mereka secara bersamaan, menurut Anda kepada siapa suling itu sebaiknya diberikan?

2.9.09

Tren sosial bukan seperti virus, tapi seperti kebakaran hutan

Oleh Roby

Mereka yang ingin merubah dunia biasanya memulai dengan menciptakan trend sosial; misalnya, pedagang menggunakan viral marketing, politikus dengan kampanye politik, atau intelektual dengan propaganda ideologi. Ide dasarnya adalah memberikan suatu informasi ke sebanyak mungkin orang. Dalam membicarakan trend sosial ini, kita sering mendengar orang yang menganalogikan trend sosial dengan penyebaran virus penyakit. Tetapi, ini analogi yang salah. Trend sosial lebih mirip kebakaran hutan dibanding penyebaran penyakit.

Tidak seperti penyakit dimana kita butuh sekali saja terinfeksi virus untuk sakit, “infeksi sosial” bergantung pada relasi sosial dan frekuensi infeksinya. Ketika kita mendengar sebuah informasi baru atau gosip, biasanya kita tidak langsung mempercayainya, apalagi jika sumber informasi tersebut bukan orang dekat yang kita percayai. Selain itu, kemungkinan kita mempercayai sebuah gossip akan semakin tinggi jika kita mendengarnya berulang-ulang dan berasal dari orang yang berbeda-beda. Jadi kita tak akan pernah bisa menciptakan “virus sosial” yang selalu ampuh dimana saja kapan saja; keampuhan sebuah informasi untuk mempengaruhi kita tergantung konteks dan relasi sosial yang ada.

Seperti tren sosial, kebakaran hutan sering terjadi tapi hanya sedikit yang menjadi sangat besar. Penyebab kebakaran selalu sama: sebuah percikan api yang bisa timbul secara acak (misal dari puntung rokok atau gesekan ranting dan daun). Kebakaran hutan menjadi besar atau tidak ditentukan oleh berbagai macam faktor cuaca seperti apakah saat itu musim hujan atau kemarau, kelembapan, besar dan arah angin dan faktor lingkungan lainnya. Mungkin saja setelah sebuah kebakaran besar kita dapat telusuri asal usul percikan api. Tapi percikan api itu tidak spesial, tidak ada bedanya dengan percikan api lain yang menyebabkan kebakaran lebih kecil. Karena kondisi cuaca saat itu maka percikan api itu menimbulkan kebakaran yang lebih besar dari biasanya.

Begitu juga dengan tren sosial. Tren sosial bisa dimulai oleh siapa saja. Tetapi apakah lalu tren itu menjadi besar atau tidak tergantung pada situasi sosial saat itu. Jika situasi sosialnya sudah pas, maka tren dapat menjadi besar terlepas siapa yang memulainya (ketika musim kering, api kecil pun bisa membuat kebakaran besar). Jika situasi sosialnya belum pas, maka tidak ada yang bisa membuat tren tersebut menjadi besar (ketika musim hujan, percikan api bisa cepat mati karena hujan).

Karena itu pula usaha menemukan influencers dalam viral marketing akan sia-sia. Ini bukan berarti tidak ada orang yang berpengaruh, tentu pengaruh orang berbeda-beda. Tetapi masalahnya, sejauh mana sebuah tren menyebar luas tidak tergantung pada individu yang memulai (early adopters) tren tersebut. Tetapi tergantung pada interaksi sosial yang terjadi ketika tren itu sedang menyebar (apakah ada hujan besar setelah api menyebar atau tidak). Interaksi antar individu ini sangat rumit sehingga secara praktis menjadi acak dan sulit untuk diprediksi (lihat tulisan tentang memprediksi lagu populer).

Kesimpulannya tren sosial besar tidak bisa dimulai hanya dengan "menginfeksi" segelintir orang saja, meskipun mereka adalah orang elit yang berpengaruh besar.

Catatan: perdebatan mana yang lebih penting dalam kebakaran hutan, percikan api di awal atau cuaca ini adalah perdebatan antara Malcolm Gladwell dengan Duncan Watts yang bisa dibaca disini: Is The Tipping Point Toast?

31.3.09

Mahasiswa UGM rasional?

Oleh Sonny

Sahabat dan kolega saya di Universitas Gajah Mada (UGM) pasti mengernyitkan dahi dengan judul terkesan provokatif di atas. (Dan saya beresiko kehilangan undangan mereka untuk makan gudeg, sambil lesehan di tepi jalan Malioboro, Yogyakarta, gara-gara memilih judul macam ini.) Seperti Anda, mereka pasti bertanya, apa yang tidak rasional dalam diri mahasiswa di kampus dengan program ilmu sosial terbaik di Indonesia itu?

Ceritanya terjadi di tahun 1994.

Saat itu, satu bungkus mie instan Indomie masih seharga 250 sampai 300 perak. Saat itu, satu dollar AS masih setara dengan sekitar dua ribu rupiah. Saat itu pula, andai seorang mahasiwa memegang uang 200 ribu Rupiah, rasanya seperti sama dengan mendapat tiga bulan gaji.

Pada masa seperti itu, seorang ekonom berkunjung ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM. Di sana ia mengajak mahasiswa FISIPOL UGM bermain. Lisa Ann Cameron nama ekonom itu. Dan ada sekitar 80 mahasiswa yang ikut bermain bersamanya.

Dalam permainan itu, Cameron memasang-masangkan setiap mahasiswa. Dua orang dalam satu pasang. Cameron memberi setiap pasang mahasiswa sejumlah uang. Jumlah yang relatif besar kala itu – 200 ribu Rupiah. Seperti disebut di atas, saat itu jumlah ini setara 3 bulan rata-rata gaji. Meskipun dipasangkan, sesama kedua mahasiswa itu tidak saling kenal – yang satu tidak tahu dengan siapa ia bermain.

Sepasang mahasiswa itu masing-masing lalu diberi peran. Mahasiswa yang satu, yang memegang uang 200 ribu Rupiah, mengajukan kepada pasangannya, sejumlah uang. Jumlah yang ia sodorkan terserah dirinya: antara 0,- Rupiah sampai 200.000,- Rupiah. Seturut dengan perannya, kita namai saja mahasiswa ini sebagai Penyodor (Proposer).

Mahasiswa yang lain, perannya lain lagi. Ia diminta menanggapi tawaran yang diajukan si Penyodor. Agar gampang, kita namakan saja mahasiswa ini sebagai Penanggap (Responder). Kepadanya disodorkan sejumlah uang (yakni, antara Rp 0,- sampai Rp 200.000,-) itu.

Yang menarik dari permainan ini adalah dua syarat berikut. Manakala si Penanggap setuju dengan jumlah yang ditawarkan si Penyodor, tiap-tiap mahasiswa ini memperoleh sejumlah uang seperti yang ditawarkan si Penyodor.

Sementara itu, andaikata si Penanggap menolak usulan jumlah uang yang ditawarkan si Penyodor, maka kedua mahasiswa ini, baik Penanggap maupun Penyodor, tak beroleh apa-apa alias mendapat 0,- Rupiah.

Permainan ini lazim dikenal dengan nama Ultimatum Game. Ditemukan ekonom Jerman, Werner Gueth, permainan ini telah diujicoba banyak kali di antero dunia, dengan beragam variasi permainan dan rupa-rupa karakter pemain.

Struktur sederhana yang dimiliki permainan ini membuka jalan untuk menguji asumsi “self-interested” jadi lebih mudah. Dan, dengan dibantu teori permainan (Game Theory), ilmu ekonomi standar bisa memprediksi apa yang akan hendak dilakukan kedua mahasiswa itu.

Apa yang bakal mereka lakukan? Seorang yang disebut “rasional” akan melakukan dua hal berikut ini.

Pertama, sebagai Penyodor yang rasional ia akan menyodorkan uang sekecil mungkin (tetapi masih positif) kepada si Penanggap. Pikirnya, sebagai sosok yang rasional toh si Penanggap akan menerima berapapun uang yang ia tawarkan.

Kedua, di sisi lain, si Penanggap, yang juga rasional, pasti akan menerima berapapun uang yang ditawarkan Penyodor. Bukankah mendapat uang – sekecil apapun itu – tetaplah lebih baik ketimbang tidak menerima uang apa-apa?

In adalah prediksi teoretis. Lantas, apa yang dilakukan para mahasiswa UGM dalam eksperimen tersebut?

Perilaku mahasiswa UGM rupanya berlawanan dengan prediksi teori. Jumlah rata-rata dari uang yang ditawarkan Penyodor adalah sekitar 40 persen (dengan standar deviasi sekitar 12 persen). Para penyodor memilih tidak menawarkan jumlah uang yang sangat kecil pada penanggap. Sementara itu, hampir 90 persen tawaran sebesar itu diterima Penanggap.

Statistik ini menegaskan kembali hasil dari begitu banyak ujicoba yang telah dilakukan dengan permainan ini. 50 persen adalah prosentase yang biasa ditawarkan Penyodor. Dan, apabila prosentase itu kurang dari 30 persen, lazimnya ditolak oleh Penanggap.

Sebagian kita mungkin sulit memahami tindakan mahasiswa UGM. Bukankah 200 ribu, pada tahun 1994 pula, adalah jumlah yang tak sedikit, apalagi hanya diperoleh dari kerja (bermain pula!) yang tak lebih dari dua jam lamanya itu? Mengapa memilih merugi dengan membagikan uang sekitar 100 ribu kepada Penanggap, mengapa tidak, misalnya, cukup dengan 5 ribu atau 10 ribu Rupiah saja?

Tindakan irasional, kata mereka yang terlatih dengan teori ekonomi standar. Adakah mahasiswa UGM tidak rasional?

Cristina Bicchieri, penulis The Grammar of Society (2006), pantas kita kutip untuk mencari jawab pertanyaan ini. Tulis filsuf itu, “andai rasionalitas adalah apa yang kita maksudkan sebagai orang yang memaksimalkan expected utility dan bahwa mereka hanya merujuk pada hasil moneter [yang mereka peroleh], maka kita harus menyimpulkan bahwa seorang yang menolak tawaran sejumlah positif [seperti sebagian mahasiswa UGM dalam permainan di atas] adalah berlaku irasional.”

Lanjut Bicchieri, “Tetapi, uang bukan pertimbangan tunggal, dan di luar itu terdapat pertimbangan atas keadilan (fairness), sampai-sampai terdapat orang yang siap untuk menghukum mereka yang berlaku tak adil, [bahkan] kalaupun ia harus membayar biaya atas hukuman itu.”

Para behavioral economists menyebut tindakan mahasiswa UGM itu sebagai negative reciprocity. Di mana orang membalas perilaku yang dianggap tak adil dengan cara yang merugikan pelaku ketidakadilan, meskipun ia harus menanggung biaya mahal atas tindakan balasan itu.

Pacar yang dibohongi membalas mantannya dengan biaya yang sangat mahal (termasuk menyebarkan informasi atau foto mereka berdua yang sangat intim). Seorang kakak bisa begitu tega dan tak sudi lagi meminjamkan uang atau mengulurkan bantuan pada adik atau saudaranya yang pernah ingkar janji, walaupun ia tahu hubungan keluarga mereka pasti meregang. Ini adalah beberapa keping contoh negative reciprocity yang acap kita jumpai sehari-hari.

Tampaknya tak ada yang keliru dengan perilaku mahasiswa UGM di atas. Apa yang keliru dong kalau begitu?

Barangkali cara kita memaknai rasionalitas itu yang perlu diperiksa kembali. Seperti kita perlu memeriksa kembali kurikulum dan pengajaran fondasi mikro keputusan manusia di banyak Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial kita di tanah air. ***


CATATAN PINGGIR

Saat menulis artikel ini, saya tergoda untuk bertanya, seperti apa hasil eksperimen apabila respondennya bukan mahasiswa FISIPOL UGM, melainkan, misalnya, mahasiswa FE UGM. Atau, seperti apa kira-kira hasilnya, apabila yang memainkan eksperimen adalah mahasiswa FE UGM dan mahasiswa FE UI, untuk menguji "hipotesis" M.C. Ricklefs, penulis A History of Modern Indonesia, bahwa UGM lebih “merakyat” dibanding UI?


Kepustakaan


Bicchieri, Cristina. 2006. The grammar of society - The nature and dynamics of social norms. New York: Cambridge University Press.

Camerer, Colin F. 2003. Behavioral game theory - Experiments in strategic interaction. New York dan New Jersey: Princeton University Press.

Cameron, Lisa A. 1999. Raising the stakes in the ultimatum game: Experimental evidence from Indonesia. Economic Inquiry 37(1), hal. 47-59.

Heinrich, Joseph; Robert Boyd, Samuel Bowles, Colin Camerer, Ernst Fehr dan Herbert Gintis (Editor). 2004. Foundations of human sociality - Economic experiments and ethnographic evidence from fifteen small-scale societies. Oxford dan New York: Oxford University Press.

24.3.09

Resiko, Keputusan, dan Perbedaan Individu

Oleh Tirta

ADA sebuah kasus artifisial klasik yang sering digunakan psikolog untuk memetakan bagaimana individu mengambil keputusan beresiko, yang biasa dipresentasikan dalam dua varian. Contoh varian pertama seperti ini:

Jika ada sebuah penyakit berbahaya yang datang ke Indonesia, dan 600 orang diprediksi akan meninggal, mana yang harus dipilih presiden dari solusi-solusi berikut ini:

Solusi A: 200 orang akan selamat.

Solusi B: ada 1/3 kemungkinan bahwa 600 orang akan selamat, dan 2/3 kemungkinan mereka tidak akan selamat.

Sedangkan varian kedua:

Jika ada sebuah penyakit berbahaya yang datang ke Indonesia, dan 600 orang diprediksi akan meninggal, mana yang harus dipilih presiden dari solusi-solusi berikut ini:

Solusi C: 400 orang akan meninggal.

Solusi D: ada 1/3 kemungkinan bahwa semua tidak akan meninggal, dan 2/3 kemungkinan 600 orang akan meninggal.

Kedua varian tersebut identik, hanya berbeda dalam konteks penyampaian. Varian pertama selalu menggunakan kata "selamat", varian kedua "meninggal"; solusi A dan C sifatnya sama-sama pasti, B dan D bersifat kemungkinan.

Puluhan studi selama beberapa dekade terakhir konsisten menemukan bahwa dalam varian pertama, mayoritas individu memilih solusi A, sedangkan dalam varian kedua, yang dipilih adalah solusi D. Apa yang terjadi?

Ketika penyampaian berkonteks positif (selamat), individu menghindari resiko. Namun ketika penyampaian berkonteks negatif (meninggal), individu mengambil resiko. Fenomena ini - yang dikenal dengan sebutan "framing effect", yaitu bagaimana konteks penyampaian ternyata mempengaruhi keputusan individu - pertama ditemukan oleh dua psikolog peraih nobel ekonomi Daniel Kahneman dan (almarhum) Amos Tversky.

Yang menarik, framing effect ini ternyata berinteraksi secara sistemik dengan emosi.

Dalam sebuah studi, psikolog Jennifer Lerner and Dacher Keltner memberi kedua varian kasus ini ke sejumlah mahasiswa, yang sebelumnya diminta mengisi tes kepribadian yang memetakan individu dalam dua dimensi emosi: marah dan takut. Dalam eksperimen lainnya, mereka mengkondisikan indivdu-individu secara acak sehingga beremosi marah atau takut, lalu memberi mereka kasus penyakit tersebut.

Ketika penyampaian kasus berkonteks positif, individu secara umum - terlepas dari emosi marah maupun takut - cenderung menghindari resiko. Namun individu-individu yang bertendensi marah ternyata lebih berani mengambil resiko, terlepas dari konteks penyampaian.

Dalam studi lain lagi, psikolog Daniel Fessler, Elizabeth Pillwsorth, dan Thomas Flamson memberi sejumlah partisipan masing-masing $15, lalu bertanya:

Taruhan berikut mana yang Anda pilih untuk menukarkan $15 Anda:
- 80% kemungkinan menang $18.75
- 40% kemungkinan menang $37.50
- 20% kemungkinan menang $75
- 5% kemungkinan menang $300
- Tidak mau menukar

Partisipan dibagi secara acak menjadi 3 kelompok, lalu dikondisikan agara beremosi berbeda. Kelompok pertama diminta menulis pengalaman mereka ketika marah, kelompok kedua ketika jijik, dan kelompok ketiga menulis tentang menonton televisi (tanpa emosi).

Hasil eksperimen lagi-lagi menunjukkan interaksi antara emosi, jenis kelamin, dan pengambilan keputusan: Dibanding tingkat resiko yang diambil kelompok ketiga (kelompok netral), pria ternyata lebih berani mengambil resiko ketika marah, sedangkan wanita cenderung menghindari resiko ketika jijik.

INTERPRETASI studi-studi di atas tentu harus dilakukan secara berhati-hati. Mengapa emosi marah, misalnya, menyebabkan individu berani lebih mengambil resiko, masih perlu diteliti lebih lanjut. Juga dengan interaksi jenis kelamin: mengapa emosi marah berefek pada pria, dan jijik pada wanita.

Namun yang jelas, data empiris menunjukkan bahwa framing effect ternyata merupakan fungsi dari faktor-faktor seperti emosi dan jenis kelamin.

Temuan ini merupakan amandemen terhadap teori pilihan rasional menurut ilmu ekonomi klasik, yang mendeskripsikan pengambilan keputusan individu sebagai steril dari pengaruh-pengaruh psikologis semacam ini. Individu ternyata merespon cara presentasi dan penyampaian masalah, serta bertindak sesuai konteks, emosi, dan menurut disposisi jenis kelamin secara sistematis.

17.3.09

Krismon (5): Sumber ketidakstabilan ekonomi dan Penutup

oleh Roby

Saya ingin sedikit bercerita mengenai sejarah asal-usul uang untuk menggambarkan landasan fundamental sistem ekonomi yang mana hidup kita sekarang bergantung.

Tentunya saya melakukan banyak penyederhanaan, tetapi saya berharap ide dasarnya tetap bisa dibaca.

Mari kita mulai dari sistem barter. Disini kita menukarkan barang yang kita miliki dengan barang yang dimiliki orang lain. Dari sini sudah terlihat potensi masalah: bagaimana jika saya memiliki ayam dan ingin jagung, tapi satu-satunya pemilik jagung tidak menginginkan ayam? Maka trasaksi tidak terjadi; secara pribadi saya kesal karena tidak bisa mendapatkan barang yang saya perlukan, dan secara umum kegiatan ekonomi sering terhambat yang akhirnya merugikan semua orang.

Lalu manusia menciptakan uang. Uang ini bentuknya bisa bermacam-macam, bisa jerami, emas atau perak. Yang penting disini adalah adanya standar untuk melakukan transaksi ekonomi. Salah satu uang yang menjadi populer adalah koin emas.

Lama kelamaan, sistem koin emas pun terasa tidak efisien. Seiring dengan tumbuhnya ekonomi dimana barang yang dijual belikan semakin bervariasi dengan volume yang besar, para pedagang merasa tidak aman dan efisien jika harus membawa koin-koin emas kemana-mana dalam jumlah besar. Juga ada masalah penyimpanan: emas yang bertumpuk di rumah-rumah pedagang sangat rentan terhadap pencurian.

Akhirnya ada yang mengambil inisiatif untuk membuat “rumah emas”. Pemilik rumah emas ini membangun sebuah tempat yang aman dimana para pedagang merasa aman untuk menitipkan emasnya di rumah emas tersebut. Maka orang berbondong-bondong menitipkan emasnya ke rumah emas. Selain itu, rumah emas ini mengeluarkan sebuah sertifikat yang menyatakan bahwa pemegang sertifikat ini memiliki emas sesuai dengan jumlah emas yang di depositkan di rumah emas.

Sertifikat tersebut tidak menyebutkan nama pemilik deposit, melainkan hanya menyatakan bahwa siapapun yang memegang sertifikat ini berhak atas sejumlah emas yang telah ditentukan. Sehingga para pedagang tinggal saling menukar sertifikat deposit emas ini dalam bertransaksi. Tidak perlu lagi membawa-bawa koin emas dalam jumlah besar. Sertifikat deposit emas ini beredar di masyarakat dan praktis memainkan peran “uang” seperti yang kita kenal sekarang.

Si pemilik rumah emas ini mengamati bahwa kebanyakan emas diam tertimbun di gudang. Hanya sedikit emas yang masuk dan keluar setiap harinya. Si pemilik rumah emas mulai mencari cara agar emas yang menumpuk di gudang tersebut tidak menganggur atau bahkan bisa memberikan keuntungan baginya.

Maka lahirlah dua hal yang menjadi landasan ekonomi modern: fractional reserve banking (FRB) dan kredit.

Prinsip FRB adalah rumah emas (bank) tidak perlu menyimpan seluruh deposit emas (uang) di dalam bank. Yang perlu disimpan hanyalah sebagian kecil; asal cukup untuk kebutuhan transaksi sehari-hari. Sisanya dipinjamkan dalam bentuk kredit. Maka si pemilik rumah emas ini mulai membuat sertifikat deposit emas yang dapat di beli oleh non-depositor.

Disini mulai tampak sumber ketidakstabilan. Memang betul dalam keadaan normal, transaksi di rumah emas hanya mencakup sebagian kecil total jumlah deposit yang ada. Karena itu rumah emas meminjamkan sebagian besar deposit dalam bentuk kredit. Tetapi, jika karena sesuatu dan lain hal, seluruh depositor meminta seluruh emasnya kembali pada hari yang sama, maka rumah emas kesulitan memenuhi permintaan ini karena emas deposit telah dipinjamkan ke orang lain. Akhirnya rumah emas harus menyatakan bankrut. Jika ada beberapa rumah emas lain di kota tersebut, melihat satu rumah emas bangkrut, depositor juga akan berbondong-bondong menarik emas di rumah emas yang lain. Akhinrya seluruh rumah emas dinyatakan bangkrut dan ekonomi kampung itu runtuh. Inilah yang dinamakan bank run.

Disini kita lihat bahwa sumber ketidakstabilan ini adalah kredit itu sendiri. Saya tidak membahas instrumen finansial canggih, uang kertas, bunga, atau nilai intrinsik. Ketidakstabilan yang dapat meruntuhkan ekonomi melalui bank run ini muncul akibat kredit dan ketika asumsi independensi dalam perilaku manusia dilanggar(*).

Lalu, jika kredit demikan berbahaya kenapa orang melakukannya?

Karena ternyata kredit ini adalah mekanisme untuk membuat uang. Misal saya adalah pemerintah dan mencetak uang senilai 100 lalu saya berikan ke bank sentral. Dengan menggunakan prinsip FRB, bank sentral hanya menyimpan, misal, 10% dan meminjamkan sisanya. Jadi 10 tetap di bank sentral dan 90 dipinjamkan ke bank A. Selanjutnya bank A juga hanya simpan 10% dari 90 yaitu 9 dan meminjamkan 81 ke bank B.

Dari sini terlihat bahwa negara saya yang mencetak uang 100 menjadi mempunyai kekayaan di atas kertas senilai (100+90+81)=271. Ini dicapai hanya melalui kredit! Tanpa produksi barang apapun. Saya bisa klaim bahwa ekonomi negara saya telah tumbuh (dari 100 ke 270) hanya melalui sistem kredit tanpa menghasilkan barang apapun.

Sekali lagi, tentunya banyak yang terlewat dalam penjelasan sederhana ini. Tetapi justru hal yang ingin saya sampaikan adalah bahwa dua karakteristik penting dalam ekonomi modern (krisis ekonomi dan pertumbuhan ekonomi) dapat muncul hanya dari satu konsep: kredit (dan saudara kembarnya fractional reserve banking). Kredit adalah pisau bermata dua: dapat merusak melalui krisis ekonomi tapi juga berguna untuk “pertumbuhan ekonomi”. Selama sistem ekonomi berlandaskan kredit maka selama itu pula krisis selalu mengintai.

Bagi saya, masalah ini bukan hanya masalah sistem ekonomi saja, tetapi masalah moralitas dan nilai kepercayaan. Ada moralitas atau nilai/norma kepercayaan yang mendasari perilaku kita dalam menyimpan, meminjam, dan membelanjakan uang; misalnya, mengapa orang harus membayar hutang? jika kita anggap membayar hutang ini bagian dari suatu mekanisme sosial dan lalu pertanyaannya mekanismenya apa dan untuk apa? Singkatnya, bagaimana sistem ekonomi kredit ini muncul?(**)

(*) biasanya perilaku banyak manusia dapat dianggap independen, alias berbeda-beda. Dalam konteks ini, misalnya, ada yang menyimpan emas ke rumah emas dan ada yang menarik emas; atau ada yang menjual dan ada yang membeli. Kadang, akibat panik, gosip atau yang lainnya, perilaku menjadi seragam: semua menarik emas, atau semua menjual. Perubahan dari perilaku yang beragam menjadi perilaku yang sama lah yang berusaha ditangkap dengan istilah perubahan dari independen ke non-independen; atau tidak berkorelasi menjadi berkorelasi.

(**) teori ekonomi memiliki penjelasan standar yang dikenal sebagai teori ekspektasi rasional. Menurut teori ini, perilaku kita soal uang ini didasari perhitungan rasional untuk mengantisipasi masa depan. Misalnya, menabung dilihat sebagai pinjaman ke diri sendiri di masa depan (loan to future self).

Tulisan ini adalah hasil membaca 2 buku berikut:

1. The ascent of money, Nial Fergusson

2. The origin of financial crisis, George Cooper


Penutup: Ini adalah seri krismon terakhir. Terima kasih kepada pembaca sekalian. Sedikit refleksi pribadi mungkin pantas saya tulis disini.

Saya memulai seri ini karena dipicu keingintahuan mengenai krisis global yang sekarang melanda kita semua. Ternyata untuk mengetahui apa yang terjadi saja sudah sulit, apalagi mengerti bagaimana dan kenapa krisis terjadi jauh lebih sulit.

Awalnya fokus pencarian saya adalah ingin mengerti bagaimana model-model keuangan yang sudah mapan di disiplin ilmu ekonomi keuangan dan sebagian dibaptis oleh nobel ekonomi ternyata tidak jalan. Ditengah pencarian ini, saya berpikir bahwa ada hal yang lebih penting: bahwa sistem ekonomi kapitalisme secara umum membutuhkan pandangan moral tertentu. Seperti yang saya bahas seri krismon terakhir ini, sistem ekonomi yang berlandaskan kredit hanya bisa jalan di masyarakat yang memiliki nilai moral bahwa hutang harus dibayar, dan kontrak adalah segalanya (sanctity of contract). Misalnya, jika ada konsumen yang bangkrut akibat kredit yang tak terbayar maka secara moral yang disalahkan adalah konsumen, bukan pemberi kredit yang secara agresif dan kadang manipulatif menawarkan kredit.

Tentu ini bukan hal baru, ilmu ekonomi sendiri muncul dalam bentuk filosofi moral yang ditulis oleh Adam Smith. Jadi landasan moral/kepercayaan kapitalisme ini perlu dimengerti jika kita ingin mengerti bagaimana kapitalisme bekerja.